Jakarta--Besudut, begitulah nama aslinya sebagai
anak rimba. Ia merupakan seorang anak dari Suku Anak Dalam di hutan
rimba yang terletak di Taman Nasional Bukit Dua Belas Makekal, Kabupaten
Tebo, Provinsi Jambi. Semangatnya untuk mengikuti pendidikan formal di
luar hutan, menjadikan Besudut sebagai satu-satunya anak rimba yang
mengenyam pendidikan formal dan lulus ujian nasional (UN) tingkat SMA.
Padahal keputusannya untuk bersekolah itu melanggar hukum adat di
lingkungan Suku Anak Dalam. Ia pun dikucilkan dari komunitasnya. Besudut
lalu mengubah namanya menjadi Irman Jalil.
Perkenalannya dengan dunia pendidikan dimulai pada tahun 2000,
dengan mengikuti pendidikan informal bersama seorang relawan bernama
Butet Manurung yang masuk ke hutan, dan menawarkan untuk mengajar
mereka. Karena belajar atau bersekolah dilarang dalam hukum adat, maka
anak-anak di Suku Anak Dalam tidak berani menerima tawaran Butet
Manurung. Namun Besudut dan dua temannya memiliki motivasi yang tinggi
untuk bisa membaca, berhitung, serta mengenal dunia luar. Mereka bertiga
pun belajar dari Butet hingga tahun 2003.
"Kami dilarang sekolah karena merusak adat," tutur Besudut dengan
logat khasnya. Namun ia sadar, pendidikan adalah hak setiap orang.
Karena itu ia pun nekat meninggalkan komunitas adatnya demi bersekolah.
Usai belajar dari Butet, dua temannya memutuskan untuk menyudahi
pengalaman belajarnya. Namun Besudut memutuskan untuk melanjutkan
sekolah, dan merantau ke Kota Jambi. Ia melanjutkan pendidikannya dengan
pendidikan alternatif di WARSI, yaitu Warung Informasi dan Konservasi.
Tahun 2004 ia masuk SD, dan langsung masuk kelas 4 SD setelah melalui
tes. Namun di pertengahan tahun, ia diperbolehkan langsung naik ke kelas
5. Sehingga dalam waktu 1,5 tahun Besudut pun lulus SD, dengan nama
Irman Jalil.
Tantangan diterimanya saat ia duduk di kelas 2 SMP. Menjelang ujian
kenaikan kelas, Besudut justru kembali ke hutan. Saat itu ia merasakan
tidak ingin bersekolah. Sebagai anak rimba yang telah melanggar adat,
saat kembali ke komunitas adatnya, Besudut pun mendapat sanksi. Ia
diharuskan membayar denda berupa kain. Dibantu orangtua dan
teman-temannya, ia pun membayar sanksi adat tersebut dengan memberikan
beberapa kain. Besudut mengalami demotivasi untuk bersekolah, tapi tidak
bagi guru-gurunya. Guru-guru Besudut terus mengajaknya untuk kembali ke
sekolah hingga akhirnya ia pun bersedia.
Besudut, alias Irman Jalil, berhasil menamatkan sekolahnya hingga
SMA, di usia 21 tahun. Ia menjadi satu-satunya anak rimba yang mengenyam
pendidikan formal, dan resmi lulus UN dengan nilai yang cukup
memuaskan, yaitu 32,40. Itu berarti rata-rata nilai UNnya adalah 6,4.
Sedangkan nilai ujian sekolah Besudut sebesar 48,14, yang berarti
rata-ratanya 8,02.
Usai dinyatakan lulus UN, Besudut berniat melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Ia penasaran, seperti apa pendidikan di perkuliahan. Terlebih lagi, Besudut memiliki cita-cita menjadi guru. "Saya satu-satunya dari Suku Anak Dalam yang sudah lulus SMA. Saya ingin ambil PGSD supaya bisa mengajar," tuturnya. Besudut memiliki cita-cita mulia menjadi guru, supaya bisa mengajar kelompok adatnya, Suku Anak Dalam, sehingga mereka pun bisa membaca, menulis dan berhitung.
Usai dinyatakan lulus UN, Besudut berniat melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Ia penasaran, seperti apa pendidikan di perkuliahan. Terlebih lagi, Besudut memiliki cita-cita menjadi guru. "Saya satu-satunya dari Suku Anak Dalam yang sudah lulus SMA. Saya ingin ambil PGSD supaya bisa mengajar," tuturnya. Besudut memiliki cita-cita mulia menjadi guru, supaya bisa mengajar kelompok adatnya, Suku Anak Dalam, sehingga mereka pun bisa membaca, menulis dan berhitung.
Ada cerita menarik yang disampaikan Besudut mengenai kemampuan
membaca di kelompok adatnya. Suatu hari datang surat dari Kepala Desa
Tanah Garo yang ditujukan untuk Kepala Suku Anak Dalam. Namun sang
pemimpin adat tidak bisa membaca surat tersebut. Begitu pula dengan
orang tua lain. Para pemimpin adat pun memanggil Besudut dan dua
temannya yang pernah belajar membaca dengan Butet Manurung. Semua orang
tua pun berkumpul untuk mendengarkan surat yang dibaca ketiganya. Mereka
diminta persatu-satu untuk membaca surat tersebut. "Ternyata bunyinya
sama, baru mereka percaya," tutur Besudut mengisahkan pengalamannya.
Hal itu pula yang memotivasi Besudut untuk menjadi guru dan mengajar
di kelompok adatnya. Ia melihat, sebenarnya anak-anak di Suku Anak
Dalam memiliki keinginan untuk bersekolah, namun tidak diizinkan
orangtuanya karena dianggap melanggar adat. Semangat dan tekad Besudut
pun diapresiasi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh,
yang memberikan akses kepadanya untuk berkuliah di Universitas Jambi.
(DM/js)
Sumber : www.kemdikbud.go.id